Berdasarkan
hasil penelitian Prof. Dr. Agussalim Sitompul Sosok Lafran Pane lahir 5
Februari 1922 di kampung Pagurabaan, Kecamatan Sipirok, yang terletak di kaki
gunung Sibual-Bual, 38 kilometer kearah utara dari Padang Sidempuan, Ibu kota
kabupaten Tapanuli Selatan Sumatera Utara. Untuk menghindari berbagai macam
tafsiran, karena bertepatan dengan berdirinya HMI Lafran Pane mengubah tanggal
lahirnya menjadi 12 April 1923.
Beliau adalah anak
seorang Sutan Pangurabaan Pane tokoh pergerakan nasional “serba komplit” dari
Sipirok, Tapanuli Selatan. Lafran Pane adalah sosok yang tidak mengenal lelah
dalam proses pencarian jati dirinya, dan secara kritis mencari kebenaran sejati.
Lafran Pane kecil, remaja dan menjelang dewasa yang nakal, pemberontak, dan
“bukan anak sekolah yang rajin” adalah identitas fundamental Lafran sebagai
ciri paling menonjol dari Independensinya. Sebagai figur pencari sejati,
independensi Lafran terasah, terbentuk, dan sekaligus teruji, di
lembaga-lembaga pendidikan yang tidak Ia lalui dengan “Normal” dan “lurus” itu
(Walau Pemuda Lafran Pane yang tumbuh dalam lingkungan nasionalis-muslim
terpelajar pernah juga menganyam pendidikan di Pesantren Ibtidaiyah, Wusta dan
sekolah Muhammadiyah) ; hidup berpetualang di sepanjang jalanan kota Medan,
terutama di kawasan Jalan Kesawan; pada kehidupan dengan tidur tidak menentu;
pada kaki-kaki lima dan emperan pertokoan; juga pada kehidupan yang Ia jalani
dengan menjual karcis bioskop, menjual es lilin, dll.
Meskipun Lafran Pane
menyejarah, tetapi di kampung kelahirannya, di Desa Pagurabaan, Kecamatan
Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, nama itu hampir tidak pernah disebutkan
dalam berbagai kegiatan. Tapi, bukan cuma Lafran Pane, juga semua anggota
keluarga besar Sutan Pangurabaan Pane.
Setiap orang di Kota Sipirok
paham kalau Pane berasal dari Desa Pangurabaan. Masyarakat marga Pane konon
berasal dari Utara, merantau ke wilah Selatan melalui jalur sungai Bila (Aek
Bila) di Kecamatan Biru. Dari daerah itu, leluhur marga Pane kemudian menetap
di Kecamatan Arse, lantas menyebar ke wilayah Kecamatan Sipirok, tinggal dan
beranak-pinak di Desa Pangurabaan.
Awalnya, Desa Pangurabaan
dominan dihuni masyarakat bermarga Pane. Dalam perkembangan kemudian terjadi
asimilasi budaya akibat perkawinan dan arus pendatang, Desa Pangurabaan tidak
identik lagi dengan marga Pane.
Desa ini dibelah dua jalur
Jalan Lintas Sumatra, sekitar 6 km dari ibu kota Sipirok ke arah Utara.
Bertetangga dengan Desa Bagas Nagodang, sebuah desa yang merupakan salah satu
desa pertama di Kecamatan Sipirok. Kehadiran masyarakat marga Pane di
Kecamatan Sipirok erat kaitannya dengan tradisi persaudaraan yang dibangun
dengan masyarakat marga Siregar, yakni masyarakat yang dominan menghuni Desa
Bagas Na Godang.
Di pinggir jalan, di salah
satu rumah tua bercat hijau yang kurang terawat, di sanalah Lafran Pane pernah
tinggal. Ayahnya, Sutan Pangurabaan Pane, seorang budayawan, sastrawan,
wartawan, intelektual, dan tokoh pergerakan terkenal dari Partai Indonesia
(PARTINDO) di Sumatera Utara. Dari tangan Sutan Pangurabaan Pane telah lahir
banyak buku berupa novel yang ditulis dalam bahasa Batak dari lingkungan
masyarakat beradat Angkola–yakni masyarakat Batak yang tinggal di Kecamatan
Sipirok.
Salah satunya karya Sutan
Pangurabaan Pane adalah Tolbok Haleon (Hati yang Kemarau) diterbitkan
Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah 1982 dalam
katagori naskah kuno. Naskah novel ini pertama kali terbit 1933 di Medan,
dan sampai tahun 1980-an masih dipakai sebagai bacaan di sekolah. Tolbok Haleon
berkisah tentang kehidupan Lilian Lolosan dan Sitti Bajani pada masa kolonial
di Tapanuli Selatan. Novel ini terbit Sutan Pangurabaan Pane tidak berbicara
tentang kawin paksa dan pertentangan adat seperti kebanyak novel yang muncul
saat itu. Dia bercerita tentang nasib cinta tokohnya yang mesti mengungsi
akibat peperangan melawan Belanda.
Lafran Pane adalah anak
keenam Sutan Pangurabaan Pane. Di tangan Sutan Pangurabaan Pane yang bervisi
jauh ke depan dan sudah membayangkan masa depan sebuah negeri yang merdeka,
anak-anaknya dididik menjadi generasi muda bangsa yang keras dan melawan. Tiga
dari anaknya kemudian menjadi tokoh nasional, Armijn Pane dan Sanusi Pane (pelopor
pujangga baru dan sejarawan nasional), dan juga Lafran Pane.
Tapi keluarga para tokoh
nasional ini tidak begitu dikenal di kampungnya, di Desa Pangurabaan. Tidak
banyak yang tahu kalau Sutan Pangurabaan Pane pernah hidup di antara mereka
sebagai figur ayah yang keras dalam mendidik anak-anaknya sehingga berhasil
sebagai tokoh nasional.
Dari perjalanan hidup Lafran dapat
diketahui bahwa struktur fundamental independensi diri Lafran terletak pada
kesediaan dan keteguhan Dia untuk terus secara kritis mencari kebenaran sejati
dengan tanpa lelah, dimana saja, kepada saja, dan kapan saja.
Sutan Pangurabaan Pane adalah
seorang tokoh yang cukup berpengaruh di Sumatera Utara daerah Tapanuli Selatan.
Sutan Pangurabaan Pane adalah seorang tokoh nasional, ia pernah aktif menjadi
pimpinan Partai Indonesia atau PARTINDO. Sutan Pangurabaan Pane juga merupakan
tokoh Gerakan Rakyat Indonesia (GERINDO).
Lafran Pane sendiri pada zaman
Hindia Belanda, setelah berada di Jakara masuk pemuda GARINDO, dan Indonesia
Muda.
Pendidikan Lafran Pane memang tidak
menunjukkan adanya garis linier, disebabkan situasi penjajahan dan perpindahan
dari satu tempat ke tempat lain mengikuti orang tuanya. Pendidikannya dimulai
dari Pesantren di Sipirok, kemudian Sekolah Desa 3 tahun, kemudian ke HIS
Sibolga dan kembali ke Sipirok untuk masuk Ibtidaiyah dan diteruskan ke Wustha.
Setelah itu melanjutkan ke Taman Antara Taman Siswa Sipirok lalu pindah ke
Taman Antara Taman Siswa di Medan. Dari sini, Lafran Pane dikeluarkan dan
menjadi petualang.
Tahun 1937, Lafran Pane merantau ke
Batavia – Jakarta tempoe doelole – atas saran kakaknya. Di Batavia Lafran Pane
masuk kelas 7 HIS Muhammadiyah, meyambung ke Mulo Muhammadiyah, AMS
Muhammadiyah kemudian ke Taman Dewasa Raya Jakarta, sampai pecah perang dunia
kedua.
Setelah ibukota NKRI pindah ke
Yogyakarta, Sekolah Tinggi Islam (STI) yang berdiri di Jakarta tahun 1945 ikut
dipindahkan. Di STI lah Lafran Pane mengeyam dunia perguruan tinggi.
Dari lingkungan keluarga dan
pendidikannya, terlihat jelas bahwa Lafran Pane berada dalam lingkungan
nasionalis, disamping juga dididik di Pesantren, Ibtidaiyah, Wustha dan
Muhammadiyah. Maka Lafran Pane tumbuh dan menjadi seorang Nasionalis Muslim.
Sebagai seorang Nasionalis Muslim,
pemuda Lafran Pane termasuk kelompok pemua yang ikut memprakarsai Proklamasi 17
Agustus 1945 bersama pemua lainnya, seperti; Adam Malik, Sukarni, N.
Nitimiharjo, Winaka, Chaerul Saleh, Pandu Wiguna, Kusnaeni, Darwis, Johar Nur,
Armunanto, dan Hanafi.
Almarhum Prof.Drs.H.Lafran Pane
(Wafat 25 Januari 1991) adalah tokoh pemrakarsa pendiri Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI) dan pemrakarsa proklamasi, namun hanya masyarakat terbatas yang
mengenalnya. Sebagai salah satu tokoh pemuda yang aktif dalam pergerakan
nasional, Lafran Pane ikut ke dalam kelompok pemuda yang ikut memprakarsai
Proklamasi 17 Agustus 1945 bersama Adam Malik, Sukarni, N. Nitimiharjo, Winaka,
Chaerul Saleh, Pandu Wiguna, Kusnaeni, Darwis, Johar Nur, Armunanto, dan
Hanafi. Pergolakan pemikirannya saat kuliah di STI (Sekolah Tinggi Islam) yang
saat ini berubah menjadi UII Yogyakarta.
Pada saat itu, beliau memiliki sebuah pemikiran sebagai berikut:
Melihat dan menyadari keadaan
kehidupan mahasiswa yang beragama Islam pada waktu itu, yang pada umumnya belum
memahami dan mengamalkan ajaran agamanya. Keadaan yang demikian adalah akibat
dari sitem pendidikan dan kondisi masyarakat pada waktu itu. Karena itu perlu
dibentuk organisasi untuk merubah keadaan tersebut. Organisasi mahasiswa ini
harus mempunyai kemampuan untuk mengikuti alam pikiran mahasiswa yang selalu
menginginkan inovasi atau pembaharuan dalam segala bidang, termasuk pemahaman
dan penghayatan ajaran agamanya, yaitu agama Islam. Tujuan tersebut tidak akan
terlaksana kalau NKRI tidak merdeka, rakyatnya melarat. Maka organisasi ini
harus turut mempertahankan Negara Republik Indonesia kedalam dan keluar, serta
ikut memperhatikan dan mengusahakan kemakmuran rakyat.
Dan akhirnya HMI berdiri pada
tanggal 5 Februari 1947 di salah satu ruangan kuliah STI di Jalan
Setiodiningratan (sekarang Panembahan Senopati). Ketika itu Lafran Pane berusia
25 tahun dan baru duduk di tingkat I STI. dan berhasil memotivasi mahasiswa STI
khususnya mahasiswa di Yogyakarta, untuk mengerti dan memahami gagasannya untuk
mendirikan HMI.
Sebelum tamat dari STI Lafran
pindah ke Akademi Ilmu Politik (AIP) pada bulan April 1948. Setelah Universitas
Gajah Mada (UGM) dinegerikan tanggal 19 desember 1949, dan AIP dimasukkan dalam
fakultas Hukum, ekonomi, sosial politik (HESP). Dalam sejarah Universitas Gajah
Mada (UGM), Lafran termasuk dalam mahasiswa-mahasiswa yang pertama mencapai
gelar sarjana, yaitu tanggal 26 januari 1953. Dengan sendirinya Drs. Lafran
pane menjadi Sarjana Ilmu Politik yang pertama di Indonesia.
Sujoko Prasodjo dalam sebuah
artikelnya di majalah Media nomor : 7 Thn. III. Rajab 1376 H/ Februari 1957,
menuliskan :” Sesungguhnya, tahun-tahun permulaan riwayat HMI adalah hampir
identik dengan sebagian kehidupan Lafran Pane sendiri. Karena dialah yang punya
andil terbanyak pada mula kelahiran HMI, kalau tidak boleh kita katakan sebagai
tokoh pendiri utamanya”.
Tanpa mengurangi sumbangsih tokoh
pendiri yang lain seperti Karnoto Zarkasyi, Dahlan Husein, Maisssaroh Hilal,
Suwali, Yusdi Ghozali, Mansyur, Siti Zainah, M. Anwar, Hasan Basri, Marwan,
Zulkarnaen, Tayeb Razak, Toha Mashudi dan Badron Hadi.
Dalam rangka mensosialisasikan
gagasan keislaman-keindonesiaanya. Pada Kongres Muslimin Indonesia (KMI) 20-25
Desember 1949 di Jogjakarta yang dihadiri oleh 185 organisasi alim ulama dan
Intelegensia seluruh Indonesia, Lafran Pane menulis sebuah artikel dalam
pedoman lengkap kongres KMI (Yogyakarta, Panitia Pusat KMI Bagian Penerangan,
1949, hal 56). Artikel tersebut berjudul “Keadaan dan Kemungkinan Kebudayaan
Islam di Indonesia”.
Dalam tulisan tersebut Lafran
membagi masyarakat islam menjadi 4 kelompok. Pertama, golongan awam , yaitu
mereka yang mengamalkan ajaran islam itu sebagai kewajiban yang diadatkan
seperti upacara kawin, mati dan selamatan.
Kedua, golongan alim ulama dan
pengikut-pengikutnya yang ingin agama islam dipraktekan sesuai dengan yang
dilakukan oleh Nabi Muhammad S.A.W.
Ketiga, golongan alim ulama dan
pengikutnya yang terpengaruh oleh mistik. Pengaruh mistik ini menyebabkan
mereka berpandangan bahwa hidup hanyalah untuk akhirat saja. Mereka tidak
begitu memikirkan lagi kehidupan dunia (ekonomi, politik, pendidikan).
Sedangkan golongan keempat adalah
golongan kecil yang mecoba menyesuaikan diri dengan kemauan zaman, selaras
dengan wujud dan hakikat agama Islam. Mereka berusaha, supaya agama itu
benar-benar dapat dipraktekan dalam masyarakat Indonesia sekarang ini.
Lafran sendiri meyakini bahwa agama
islam dapat memenuhi keperluan-keperluan manusia pada segala waktu dan tempat,
artinya dapat menselaraskan diri dengan keadaan dan keperluan masyarakat
dimanapun juga. Adanya bermacam-macam bangsa yang berbeda-beda masyarakatnya,
yang terganting pada faktor alam, kebiasaan, dan lain-lain. Maka kebudayaan
islam dapat diselaraskan dengan masyarakat masing-masing.
Sebagai muslim dan warga Negara
Republik Indonesia, Lafran juga menunjukan semangat nasionalismenya. Dalam
kesempatan lain, pada pidato pengukuhan Lafran Pane sebagai Guru Besar dalam
mata pelajaran Ilmu Tata Negara pada Fakultas Keguruan Ilmu Sosial, IKIP
Yogyakarta (sekarang UNY), kamis 16 Juli 1970, Lafran menyebutkan bahwa
Pancasila merupakan hal yang tidak bisa berubah. Pancasila harus dipertahankan
sebagai dasar Negara Republik Indonesia. Namun ia juga tidak menolak beragam
pandangan tentang pancasila, Lafran mengatakan dalam pidatonya:
” Saya termasuk orang yang tidak
setuju kalau Pemerintah atau MPR mengadakan interprestasi yang tegar mengenai
pancasila ini, karena dengan demikian terikatlah pancasila dengan waktu.
Biarkan saja setiap golongan mempunyai interpretasi sendiri-sendiri mengenai
pancasila ini. Dan interpretasi golongan tersebut mungkin akan berbeda-beda
sesuai dengan perkembangan zaman. Adanya interpretasi yang berbeda-beda
menunjukan kemampuan pancasila ini untuk selam-lamanya sebagai dasar (filsafat)
Negara “. (hal.6)
Dari tulisan diatas nampak Lafran
sangat terbuka terhadap beragam interpretasi terhadap pancasila, termasuk pada
Islam. Islam bertumpu pada ajarannya memiliki semangat dan wawasan modern, baik
dalam politik, ekonomi, hukum, demokrasi, moral, etika, sosial maupun egalitarianisme.
Egalitarianisme ini adalah faktor yang paling fundamental dalam Islam, semua
manusia sama tanpa membedakan warna kulit, ras, status sosial-ekonomi.
Wajah islam yang seperti ini
selazimnya dapat dibingkai dalam wadah keindonesiaan. Wawasan keislaman dalam
wadah keindonesiaan akan sesuai dengan perkembangan waktu dan tempat. Untuk
kepentingan manusia kontemporer diseluruh jagat raya ini sebagai rahmatan lil
alamin.
Lafran Pane sebagaimana dijelaskan
Nurkholis majid yang juga dikutip Azyumardi Azra adalah personifikasi dari
pemikiran keislaman dan keindonesiaan HMI. Itu terlihat dari keteguhan iman
serta amal perbuatan lafran sangat tulus, jujur, tawadhu, indefenden, visioner,
konsiten, moderat dan demokrat. Beliau tetap menjaga prinsif itu semua meskipun
ada generasi HMI penerusnya telah banyak menjadi orang pada taraf tertentu.
Bahkan beliau terkesan menarik diri dari prestasi yang diraih generasi pada
keemasan HMI. Beliau sedikitpun tidak menancapkan pengaruhnya dalam HMI apalagi
menggunakan HMI untuk keperluaan pribadinya sendiri, Lafran bahkan menghindari
sebutan sebagai pendiri HMI sampai akhir khayatnya
Lafran Pane Layak dijadikan tokoh
nasional bahkan pahlawan nasional. Kerana HMI Organisasi yang dididedikannya
telah lahir tokoh-tokoh bangsa di negeri ini seperti: Dahlan
Ranuwiharjo, Deliar Noer, Nurcholish Madjid, Ahmad Syafi Maarif, Kuntowijoyo,
Endang Syaifuddin Anshori, Chumaidy Syarif Romas, Agussalim Sitompul, Dawam
Rahardjo, Immaduddin Abdurrahim, Ahmad Wahib, Djohan Effendi, Ichlasul Amal,
Azyumardi Azra, Fachry Ali, Bahtiar Effendy, dll,
Terdapat juga tokoh-tokoh
sosial-ekonomi-politik seperti HMS Mintaredja, M,Sanusi, Bintoro Cokro Aminoto,
Ahmad Tirtosudiro, Amir Radjab Batubara, Mar’ie Muhammad, Sulastomo, Ismail
Hasan Metareum, Hamzah Haz, Bachtiar Hamzah, Ridwan Saidi, Jusuf Kalla, Amien
Rais, Akbar Tanjung, Fahmi Idris, Mahadi Sinambela, Ferry Mursyidan Baldan,
Hidayat Nur Wahid, Marwah Daud Ibrahim, Munir SH, Adyaksa Dault, Abdullah
Hemahua, Yusril Ihza Mahendra, Syaifullah Yusuf, Bursah Jarnubi, Hamid
Awwaluddin, Jimlie Asshiddiqi, Anas Urbaningrum, dan masih banyak lagi.
Yudi Latif dalam bukunya
Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad
Ke-20, hal 502 menyebutkan: Lafran Pane sebagai generasi ketiga inteligensia
muslim Indonesia setelah generasi pertama (Tjokroaminoto, Agus Salim,dll),
generasi kedua (M. Natsir, M. Roem dan Kasman Singodimedjo pada 1950-an),
generasi keempat (Nurcholish Majid, Imadudin Abdurrahim dan Djohan Efendi pada
1970-an).
Menurut Hariqo Wibawa Satria,
Lafran Pane adalah sosok pria sederhana namun berkarakter dan mempunyai prinsip
yang teguh. Dengan kesederhanaanya, dirinya mampu melakukan perubahan besar di
tengah percaturan ideologi yang berkecamuk di kalangan mahasiswa saat itu.
"Ternyata dengan kesederhanaan dan prinsipnya yang teguh, seorang Lafran
Pane mampu mengawali perubahan bagi bangsa ini," tuturnya. Menurut Lukman
Hakiem, bahwa kader HMI perlu meneladani jiwa kepemimpinan Lafran Pane.
"Jiwanya yang tangguh dan tidak materialistis dari pak Lafran perlu kita
teladani. Terlebih bagi para kader-kader HMI," paparnya. Sementara itu,
Ferry mengkritisi tentang sedikitnya referensi yang membahas tentang Lafran
Pane selaku pendiri HMI. "Untuk referensi, sepertinya jarang sekali yang
membahas tentang Lafran Pane. Kalau untuk Nurcholish Madjid, Akbar Tandjung,
banyak sekali referensinya.
0 komentar:
Posting Komentar