Selasa, 03 Desember 2013

Berdasarkan hasil penelitian Prof. Dr. Agussalim Sitompul Sosok Lafran Pane lahir 5 Februari 1922 di kampung Pagurabaan, Kecamatan Sipirok, yang terletak di kaki gunung Sibual-Bual, 38 kilometer kearah utara dari Padang Sidempuan, Ibu kota kabupaten Tapanuli Selatan Sumatera Utara. Untuk menghindari berbagai macam tafsiran, karena bertepatan dengan berdirinya HMI Lafran Pane mengubah tanggal lahirnya menjadi 12 April 1923.
Beliau adalah anak seorang Sutan Pangurabaan Pane tokoh pergerakan nasional “serba komplit” dari Sipirok, Tapanuli Selatan. Lafran Pane adalah sosok yang tidak mengenal lelah dalam proses pencarian jati dirinya, dan secara kritis mencari kebenaran sejati. Lafran Pane kecil, remaja dan menjelang dewasa yang nakal, pemberontak, dan “bukan anak sekolah yang rajin” adalah identitas fundamental Lafran sebagai ciri paling menonjol dari Independensinya. Sebagai figur pencari sejati, independensi Lafran terasah, terbentuk, dan sekaligus teruji, di lembaga-lembaga pendidikan yang tidak Ia lalui dengan “Normal” dan “lurus” itu (Walau Pemuda Lafran Pane yang tumbuh dalam lingkungan nasionalis-muslim terpelajar pernah juga menganyam pendidikan di Pesantren Ibtidaiyah, Wusta dan sekolah Muhammadiyah) ; hidup berpetualang di sepanjang jalanan kota Medan, terutama di kawasan Jalan Kesawan; pada kehidupan dengan tidur tidak menentu; pada kaki-kaki lima dan emperan pertokoan; juga pada kehidupan yang Ia jalani dengan menjual karcis bioskop, menjual es lilin, dll.
Meskipun Lafran Pane menyejarah, tetapi di kampung kelahirannya, di Desa Pagurabaan, Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, nama itu hampir tidak pernah disebutkan dalam berbagai kegiatan. Tapi, bukan cuma Lafran Pane, juga semua anggota keluarga besar Sutan Pangurabaan Pane.
Setiap orang di Kota Sipirok paham kalau Pane berasal dari Desa Pangurabaan. Masyarakat marga Pane konon berasal dari Utara, merantau ke wilah Selatan melalui jalur sungai Bila (Aek Bila) di Kecamatan Biru. Dari daerah itu, leluhur marga Pane kemudian menetap di Kecamatan Arse, lantas menyebar ke wilayah Kecamatan Sipirok, tinggal dan beranak-pinak di Desa Pangurabaan.
Awalnya, Desa Pangurabaan dominan dihuni masyarakat bermarga Pane. Dalam perkembangan kemudian terjadi asimilasi budaya akibat perkawinan dan arus pendatang, Desa Pangurabaan tidak identik lagi dengan marga Pane.
Desa ini dibelah dua jalur Jalan Lintas Sumatra, sekitar 6 km dari ibu kota Sipirok ke arah Utara. Bertetangga dengan Desa Bagas Nagodang, sebuah desa yang merupakan salah satu desa pertama di Kecamatan Sipirok.  Kehadiran masyarakat marga Pane di Kecamatan Sipirok erat kaitannya dengan tradisi persaudaraan yang dibangun dengan masyarakat marga Siregar, yakni masyarakat yang dominan menghuni Desa Bagas Na Godang.
Di pinggir jalan, di salah satu rumah tua bercat hijau yang kurang terawat, di sanalah Lafran Pane pernah tinggal. Ayahnya, Sutan Pangurabaan Pane, seorang budayawan, sastrawan, wartawan, intelektual, dan tokoh pergerakan terkenal dari Partai Indonesia (PARTINDO) di Sumatera Utara. Dari tangan Sutan Pangurabaan Pane telah lahir banyak buku berupa novel yang ditulis dalam bahasa Batak dari lingkungan masyarakat beradat Angkola–yakni masyarakat Batak yang tinggal di Kecamatan Sipirok.
Salah satunya karya Sutan Pangurabaan Pane adalah Tolbok Haleon  (Hati yang Kemarau) diterbitkan Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah 1982 dalam katagori naskah kuno.  Naskah novel ini pertama kali terbit 1933 di Medan, dan sampai tahun 1980-an masih dipakai sebagai bacaan di sekolah. Tolbok Haleon berkisah tentang kehidupan Lilian Lolosan dan Sitti Bajani pada masa kolonial di Tapanuli Selatan. Novel ini terbit Sutan Pangurabaan Pane tidak berbicara tentang kawin paksa dan pertentangan adat seperti kebanyak novel yang muncul saat itu. Dia bercerita tentang nasib cinta tokohnya yang mesti mengungsi akibat peperangan melawan Belanda.
Lafran Pane adalah anak keenam Sutan Pangurabaan Pane. Di tangan Sutan Pangurabaan Pane yang bervisi jauh ke depan dan sudah membayangkan masa depan sebuah negeri yang merdeka, anak-anaknya dididik menjadi generasi muda bangsa yang keras dan melawan. Tiga dari anaknya kemudian menjadi tokoh nasional, Armijn Pane dan Sanusi Pane (pelopor pujangga baru dan sejarawan nasional), dan juga Lafran Pane.
Tapi keluarga para tokoh nasional ini tidak begitu dikenal di kampungnya, di Desa Pangurabaan. Tidak banyak yang tahu kalau Sutan Pangurabaan Pane pernah hidup di antara mereka sebagai figur ayah yang keras dalam mendidik anak-anaknya sehingga berhasil sebagai tokoh nasional.
Dari perjalanan hidup Lafran dapat diketahui bahwa struktur fundamental independensi diri Lafran terletak pada kesediaan dan keteguhan Dia untuk terus secara kritis mencari kebenaran sejati dengan tanpa lelah, dimana saja, kepada saja, dan kapan saja.
Sutan Pangurabaan Pane adalah seorang tokoh yang cukup berpengaruh di Sumatera Utara daerah Tapanuli Selatan. Sutan Pangurabaan Pane adalah seorang tokoh nasional, ia pernah aktif menjadi pimpinan Partai Indonesia atau PARTINDO. Sutan Pangurabaan Pane juga merupakan tokoh Gerakan Rakyat Indonesia (GERINDO).
Lafran Pane sendiri pada zaman Hindia Belanda, setelah berada di Jakara masuk pemuda GARINDO, dan Indonesia Muda.
Pendidikan Lafran Pane memang tidak menunjukkan adanya garis linier, disebabkan situasi penjajahan dan perpindahan dari satu tempat ke tempat lain mengikuti orang tuanya. Pendidikannya dimulai dari Pesantren di Sipirok, kemudian Sekolah Desa 3 tahun, kemudian ke HIS Sibolga dan kembali ke Sipirok untuk masuk Ibtidaiyah dan diteruskan ke Wustha. Setelah itu melanjutkan ke Taman Antara Taman Siswa Sipirok lalu pindah ke Taman Antara Taman Siswa di Medan. Dari sini, Lafran Pane dikeluarkan dan menjadi petualang.
Tahun 1937, Lafran Pane merantau ke Batavia – Jakarta tempoe doelole – atas saran kakaknya. Di Batavia Lafran Pane masuk kelas 7 HIS Muhammadiyah, meyambung ke Mulo Muhammadiyah, AMS Muhammadiyah kemudian ke Taman Dewasa Raya Jakarta, sampai pecah perang dunia kedua.
Setelah ibukota NKRI pindah ke Yogyakarta, Sekolah Tinggi Islam (STI) yang berdiri di Jakarta tahun 1945 ikut dipindahkan. Di STI lah Lafran Pane mengeyam dunia perguruan tinggi.
Dari lingkungan keluarga dan pendidikannya, terlihat jelas bahwa Lafran Pane berada dalam lingkungan nasionalis, disamping juga dididik di Pesantren, Ibtidaiyah, Wustha dan Muhammadiyah. Maka Lafran Pane tumbuh dan menjadi seorang Nasionalis Muslim.
Sebagai seorang Nasionalis Muslim, pemuda Lafran Pane termasuk kelompok pemua yang ikut memprakarsai Proklamasi 17 Agustus 1945 bersama pemua lainnya, seperti; Adam Malik, Sukarni, N. Nitimiharjo, Winaka, Chaerul Saleh, Pandu Wiguna, Kusnaeni, Darwis, Johar Nur, Armunanto, dan Hanafi.
Almarhum Prof.Drs.H.Lafran Pane (Wafat 25 Januari 1991) adalah tokoh pemrakarsa pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan pemrakarsa proklamasi, namun hanya masyarakat terbatas yang mengenalnya. Sebagai salah satu tokoh pemuda yang aktif dalam pergerakan nasional, Lafran Pane ikut ke dalam kelompok pemuda yang ikut memprakarsai Proklamasi 17 Agustus 1945 bersama Adam Malik, Sukarni, N. Nitimiharjo, Winaka, Chaerul Saleh, Pandu Wiguna, Kusnaeni, Darwis, Johar Nur, Armunanto, dan Hanafi. Pergolakan pemikirannya saat kuliah di STI (Sekolah Tinggi Islam) yang saat ini berubah menjadi UII Yogyakarta.  Pada saat itu, beliau memiliki sebuah pemikiran sebagai berikut:
Melihat dan menyadari keadaan kehidupan mahasiswa yang beragama Islam pada waktu itu, yang pada umumnya belum memahami dan mengamalkan ajaran agamanya. Keadaan yang demikian adalah akibat dari sitem pendidikan dan kondisi masyarakat pada waktu itu. Karena itu perlu dibentuk organisasi untuk merubah keadaan tersebut. Organisasi mahasiswa ini harus mempunyai kemampuan untuk mengikuti alam pikiran mahasiswa yang selalu menginginkan inovasi atau pembaharuan dalam segala bidang, termasuk pemahaman dan penghayatan ajaran agamanya, yaitu agama Islam. Tujuan tersebut tidak akan terlaksana kalau NKRI tidak merdeka, rakyatnya melarat. Maka organisasi ini harus turut mempertahankan Negara Republik Indonesia kedalam dan keluar, serta ikut memperhatikan dan mengusahakan kemakmuran rakyat.
Dan akhirnya HMI berdiri pada tanggal 5 Februari 1947 di salah satu ruangan kuliah STI di Jalan Setiodiningratan (sekarang Panembahan Senopati). Ketika itu Lafran Pane berusia 25 tahun dan baru duduk di tingkat I STI. dan berhasil memotivasi mahasiswa STI khususnya mahasiswa di Yogyakarta, untuk mengerti dan memahami gagasannya untuk mendirikan HMI.
Sebelum tamat dari STI Lafran pindah ke Akademi Ilmu Politik (AIP) pada bulan April 1948. Setelah Universitas Gajah Mada (UGM) dinegerikan tanggal 19 desember 1949, dan AIP dimasukkan dalam fakultas Hukum, ekonomi, sosial politik (HESP). Dalam sejarah Universitas Gajah Mada (UGM), Lafran termasuk dalam mahasiswa-mahasiswa yang pertama mencapai gelar sarjana, yaitu tanggal 26 januari 1953. Dengan sendirinya Drs. Lafran pane menjadi Sarjana Ilmu Politik yang pertama di Indonesia.
Sujoko Prasodjo dalam sebuah artikelnya di majalah Media nomor : 7 Thn. III. Rajab 1376 H/ Februari 1957, menuliskan :” Sesungguhnya, tahun-tahun permulaan riwayat HMI adalah hampir identik dengan sebagian kehidupan Lafran Pane sendiri. Karena dialah yang punya andil terbanyak pada mula kelahiran HMI, kalau tidak boleh kita katakan sebagai tokoh pendiri utamanya”.
Tanpa mengurangi sumbangsih tokoh pendiri yang lain seperti Karnoto Zarkasyi, Dahlan Husein, Maisssaroh Hilal, Suwali, Yusdi Ghozali, Mansyur, Siti Zainah, M. Anwar, Hasan Basri, Marwan, Zulkarnaen, Tayeb Razak, Toha Mashudi dan Badron Hadi.
Dalam rangka mensosialisasikan gagasan keislaman-keindonesiaanya. Pada Kongres Muslimin Indonesia (KMI) 20-25 Desember 1949 di Jogjakarta yang dihadiri oleh 185 organisasi alim ulama dan Intelegensia seluruh Indonesia, Lafran Pane menulis sebuah artikel dalam pedoman lengkap kongres KMI (Yogyakarta, Panitia Pusat KMI Bagian Penerangan, 1949, hal 56). Artikel tersebut berjudul “Keadaan dan Kemungkinan Kebudayaan Islam di Indonesia”.
Dalam tulisan tersebut Lafran membagi masyarakat islam menjadi 4 kelompok. Pertama, golongan awam , yaitu mereka yang mengamalkan ajaran islam itu sebagai kewajiban yang diadatkan seperti upacara kawin, mati dan selamatan.
Kedua, golongan alim ulama dan pengikut-pengikutnya yang ingin agama islam dipraktekan sesuai dengan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad S.A.W.
Ketiga, golongan alim ulama dan pengikutnya yang terpengaruh oleh mistik. Pengaruh mistik ini menyebabkan mereka berpandangan bahwa hidup hanyalah untuk akhirat saja. Mereka tidak begitu memikirkan lagi kehidupan dunia (ekonomi, politik, pendidikan).
Sedangkan golongan keempat adalah golongan kecil yang mecoba menyesuaikan diri dengan kemauan zaman, selaras dengan wujud dan hakikat agama Islam. Mereka berusaha, supaya agama itu benar-benar dapat dipraktekan dalam masyarakat Indonesia sekarang ini.
Lafran sendiri meyakini bahwa agama islam dapat memenuhi keperluan-keperluan manusia pada segala waktu dan tempat, artinya dapat menselaraskan diri dengan keadaan dan keperluan masyarakat dimanapun juga. Adanya bermacam-macam bangsa yang berbeda-beda masyarakatnya, yang terganting pada faktor alam, kebiasaan, dan lain-lain. Maka kebudayaan islam dapat diselaraskan dengan masyarakat masing-masing.
Sebagai muslim dan warga Negara Republik Indonesia, Lafran juga menunjukan semangat nasionalismenya. Dalam kesempatan lain, pada pidato pengukuhan Lafran Pane sebagai Guru Besar dalam mata pelajaran Ilmu Tata Negara pada Fakultas Keguruan Ilmu Sosial, IKIP Yogyakarta (sekarang UNY), kamis 16 Juli 1970, Lafran menyebutkan bahwa Pancasila merupakan hal yang tidak bisa berubah. Pancasila harus dipertahankan sebagai dasar Negara Republik Indonesia. Namun ia juga tidak menolak beragam pandangan tentang pancasila, Lafran mengatakan dalam pidatonya:
” Saya termasuk orang yang tidak setuju kalau Pemerintah atau MPR mengadakan interprestasi yang tegar mengenai pancasila ini, karena dengan demikian terikatlah pancasila dengan waktu. Biarkan saja setiap golongan mempunyai interpretasi sendiri-sendiri mengenai pancasila ini. Dan interpretasi golongan tersebut mungkin akan berbeda-beda sesuai dengan perkembangan zaman. Adanya interpretasi yang berbeda-beda menunjukan kemampuan pancasila ini untuk selam-lamanya sebagai dasar (filsafat) Negara “. (hal.6)
Dari tulisan diatas nampak Lafran sangat terbuka terhadap beragam interpretasi terhadap pancasila, termasuk pada Islam. Islam bertumpu pada ajarannya memiliki semangat dan wawasan modern, baik dalam politik, ekonomi, hukum, demokrasi, moral, etika, sosial maupun egalitarianisme. Egalitarianisme ini adalah faktor yang paling fundamental dalam Islam, semua manusia sama tanpa membedakan warna kulit, ras, status sosial-ekonomi.
Wajah islam yang seperti ini selazimnya dapat dibingkai dalam wadah keindonesiaan. Wawasan keislaman dalam wadah keindonesiaan akan sesuai dengan perkembangan waktu dan tempat. Untuk kepentingan manusia kontemporer diseluruh jagat raya ini sebagai rahmatan lil alamin.
Lafran Pane sebagaimana dijelaskan Nurkholis majid yang juga dikutip Azyumardi Azra adalah personifikasi dari pemikiran keislaman dan keindonesiaan HMI. Itu terlihat dari keteguhan iman serta amal perbuatan lafran sangat tulus, jujur, tawadhu, indefenden, visioner, konsiten, moderat dan demokrat. Beliau tetap menjaga prinsif itu semua meskipun ada generasi HMI penerusnya telah banyak menjadi orang pada taraf tertentu. Bahkan beliau terkesan menarik diri dari prestasi yang diraih generasi pada keemasan HMI. Beliau sedikitpun tidak menancapkan pengaruhnya dalam HMI apalagi menggunakan HMI untuk keperluaan pribadinya sendiri, Lafran bahkan menghindari sebutan sebagai pendiri HMI sampai akhir khayatnya
Lafran Pane Layak dijadikan tokoh nasional bahkan pahlawan nasional. Kerana HMI Organisasi yang dididedikannya telah lahir tokoh-tokoh bangsa di negeri ini seperti: Dahlan Ranuwiharjo, Deliar Noer, Nurcholish Madjid, Ahmad Syafi Maarif, Kuntowijoyo, Endang Syaifuddin Anshori, Chumaidy Syarif Romas, Agussalim Sitompul, Dawam Rahardjo, Immaduddin Abdurrahim, Ahmad Wahib, Djohan Effendi, Ichlasul Amal, Azyumardi Azra, Fachry Ali, Bahtiar Effendy, dll,
Terdapat juga tokoh-tokoh sosial-ekonomi-politik seperti HMS Mintaredja, M,Sanusi, Bintoro Cokro Aminoto, Ahmad Tirtosudiro, Amir Radjab Batubara, Mar’ie Muhammad, Sulastomo, Ismail Hasan Metareum, Hamzah Haz, Bachtiar Hamzah, Ridwan Saidi, Jusuf Kalla, Amien Rais, Akbar Tanjung, Fahmi Idris, Mahadi Sinambela, Ferry Mursyidan Baldan, Hidayat Nur Wahid, Marwah Daud Ibrahim, Munir SH, Adyaksa Dault, Abdullah Hemahua, Yusril Ihza Mahendra, Syaifullah Yusuf, Bursah Jarnubi, Hamid Awwaluddin, Jimlie Asshiddiqi, Anas Urbaningrum, dan masih banyak lagi.
Yudi Latif dalam bukunya Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad Ke-20, hal 502 menyebutkan: Lafran Pane sebagai generasi ketiga inteligensia muslim Indonesia setelah generasi pertama (Tjokroaminoto, Agus Salim,dll), generasi kedua (M. Natsir, M. Roem dan Kasman Singodimedjo pada 1950-an), generasi keempat (Nurcholish Majid, Imadudin Abdurrahim dan Djohan Efendi pada 1970-an).
Menurut Hariqo Wibawa Satria, Lafran Pane adalah sosok pria sederhana namun berkarakter dan mempunyai prinsip yang teguh. Dengan kesederhanaanya, dirinya mampu melakukan perubahan besar di tengah percaturan ideologi yang berkecamuk di kalangan mahasiswa saat itu. "Ternyata dengan kesederhanaan dan prinsipnya yang teguh, seorang Lafran Pane mampu mengawali perubahan bagi bangsa ini," tuturnya. Menurut Lukman Hakiem, bahwa kader HMI perlu meneladani jiwa kepemimpinan Lafran Pane. "Jiwanya yang tangguh dan tidak materialistis dari pak Lafran perlu kita teladani. Terlebih bagi para kader-kader HMI," paparnya. Sementara itu, Ferry mengkritisi tentang sedikitnya referensi yang membahas tentang Lafran Pane selaku pendiri HMI. "Untuk referensi, sepertinya jarang sekali yang membahas tentang Lafran Pane. Kalau untuk Nurcholish Madjid, Akbar Tandjung, banyak sekali referensinya.

0 komentar:

Posting Komentar